A. Perkembangan pada Zaman Kerajaan
Peradaban yang tinggi telah dimiliki oleh bangsa Indonesia, sehingga dapat berkembang menjadi rumpun bangsa yang maju. Daerah-daerah dan pulau-pulau yang dihuni berkembang menjadi masyarakat dengan tata pemerintahan dan kehidupan yang teratur. Tata pembelaan diri di zaman tersebut terutama didasarkan kepada kemampuan pribadi yang tinggi, merupakan dasar dari sistem pembelaan diri, baik dalam menghadapi perjuangan hidup maupun dalam pembelaan berkelompok.
Para ahli beladiri dan pendekar mendapat tempat yang tinggi di masyarakat. Begitu pula para empu yang membuat senjata pribadi yang ampuh seperti keris, tombak, dan senjata khusus. Pasukan yang kuat di zaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit serta kerajaan lainnya di masa itu terdiri dari prajurit-prajurit yang mempunyai keterampilan pembelaan diri yang tinggi. Penanaman jiwa keprajuritan dan kesatriaan selalu diberikan untuk mencapai keunggulan dalam ilmu pembelaan diri. Untuk menjadi prajurit atau pendekar diperlukan syarat-syarat dan latihan yang mendalam di bawah bimbingan seorang guru.
Pada masa perkembangan agama Islam ilmu beladiri dipupuk bersama ajaran kerohanian. Sehingga basis-basis agama Islam terkenal dengan ketinggian ilmu bela dirinya. Pada jaman kerajaan beladiri sudah dikenal untuk keamanan serta untuk memperluas wilayah kerajaan dalam melawan kerajaan yang lainnya. Kerajaan-kerajaan pada waktu itu seperti: Kerajaan Kutai, Tarumanegara, Mataram, Kediri, Singasari, Sriwijaya, dan Majapahit mempunyai prajurit yang dibekali ilmu beladiri untuk mempertahankan wilayahnya, pada masa ini istilah pencak silat belum ada. Tahun 1019- 1041 pada jaman kerajaan Kahuripan yang dipimpin oleh Prabu Erlangga dari Sidoarjo, sudah mengenal ilmu beladiri pencak dengan nama “Eh Hok Hik”, yang artinya “Maju Selangkah Memukul” (Notosoejitno, 1999).
B. Perkembangan pada Zaman Penjajahan Belanda
Pemerintah Belanda tidak memberi kesempatan perkembangan pencak silat atau pembelaan diri nasional, karena dipandang berbahaya terhadap kelangsungan penjajahannya. Larangan berlatih beladiri diadakan bahkan larangan untuk berkumpul dan berkelompok. Kegiatan pencak silat dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan hanya dipertahankan oleh kelompok-kelompok kecil. Kesempatankesempatan yang dijinkan hanya berupa pengembangan kesenian yang masih digunakan di beberapa daerah, berupa pertunjukan atau upacara. Pengaruh dari penekanan di zaman penjajahan Belanda ini banyak mewarnai perkembangan pencak silat untuk masa sesudahnya.
C. Perkembangan pada Pendudukan Jepang
Politik Jepang terhadap bangsa yang diduduki berlainan dengan politik Belanda. Pencak silat sebagai ilmu nasional didorong dan dikembangkan untuk kepentingan Jepang sendiri, dengan mengobarkan semangat pertahanan menghadapi sekutu. Di mana-mana atas anjuran Shimitsu diadakan pemusatan tenaga aliran pencak silat. Di seluruh Jawa didirikan gerakan pencak silat yang diatur oleh pemerintah secara serentak. Di Jakarta pada waktu itu telah diciptakan oleh para pembina pencak silat suatu olahraga berdasarkan pencak silat, yang diusulkan untuk dipakai sebagai gerakan olahraga setiap pagi di sekolahsekolah. Usul itu ditolak oleh Shimitsu karena khawatir akan mendesak Taysho, Jepang. Sekalipun Jepang memberikan kesempatan untuk menghidupkan unsur-unsur warisan kebesaran bangsa, tujuannya adalah untuk mempergunakan semangat yang diduga akan berkobar lagi demi kepentingan Jepang sendiri bukan untuk kepentingan nasional. Meskipun demikian, ada keuntungan yang diperoleh dari zaman itu, masyarakat kembali sadar untuk mengembalikan ilmu pencak silat pada tempat yang semestinya. Masyarakat mulai menata kembali pencak silat dan mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dalam kehidupan sehari-hari.
D. Perkembangan pada Zaman Kemerdekaan
Pada zaman kemerdekaan ini perkembangan pencak silat dibagi menjadi lima periode.
1. Periode Perintisan (tahun 1948-1955)
Periode ini adalah perintisan berdirinya organisasi pencak silat yang bertujuan untuk menampung perguruan-perguruan pencak silat. Pada tanggal 18 Mei 1948 di Solo (menjelang PON ke I), para pendekar berkumpul dan membentuk organisasi Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia (IPSSI). Ketua umum pertama IPSSI adalah Mr. Wongsonegoro. Kemudian diubah namanya menjadi Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI), yang dimaksud untuk menggalang kembali semangat juang bangsa Indonesia dalam pembangunan. Selain itu IPSI mempunyai tujuan yang dapat memupuk persaudaraan dan kesatuan bangsa Indonesia sehingga tidak mudah dipecah belah. Tahun 1948 sejak berdirinya PORI yaitu wadah indukinduk organisasi olahraga, IPSI sudah menjadi anggota. IPSI juga ikut aktif mendirikan KONI (Komite Olahraga
Nasional Indonesia).
2. Periode Konsolidasi dan Pemantapan (tahun1955-1973)
Setelah terbentuknya organisasi pencak silat, maka IPSI mengonsolidasikan anggota-anggota perguruan pencak silat di seluruh Indonesia. Tujuannya untuk memantapkan program sehingga pencak silat selain sebagai beladiri juga dapat dipakai olahraga, sehingga dibuatlah peraturan pertandingan pencak silat.